omba pada mayoritas masyarakat agraris di Tatar Pasundan merupakan jenis hewan ternak yang biasanya dimiliki selain sapi, ayam, dan bebek. Hewan ini selain digembalakan untuk memanfaatkan keberlimpahan rumput juga berguna sebagai penghasil pupuk organik yang dapat diinstensifikasikan penggunaannya pada upaya penyuburan ladang atau kebun rumahan pada umumnya. Selanjutnya, dalam sejarahnya domba sebagai hewan domestik masyarakat agraris ini kemudian berkembang menjadi seni tradisi adu ketangkasan.
Hikayatnya, sejarah tradisi seni ketangkasan domba Garut ini berawal dari masa pemerintahan Bupati Suryakanta Legawa sekitar tahun 1815-1829, ia sering berkunjung ke sejawat perguruannya bernama Haji Saleh yang mempunyai banyak domba. Sebagai sesama pemilik dan pecinta hewan domba, ia meminta salah satu domba sahabatnya yang dinamai Si Lenjang untuk dikawinkan dengan domba yang ada di Pendopo Kabupten yang bernama Si Dewa. Lenjang dan Dewa beranak Si Toblo, yang kemudian beranak-pinak menghasilkan keturunan domba Garut yang dikhususkan hanya sebagai hewan pada pentas seni adu tangkas yang berbeda dengan hewan domestik domba umumnya.
Kualifikasi dan perawatan keseharian domba khusus adu tangkas ini pun lebih tertata dan terawat. Makan, minum, hingga kesehatannya dijaga. Hingga umumnya, domba jenis ini mempunyai fisik yang kekar dengan berat sekitar 60-80 Kg, tanduk baplang (besar seperti kumis pria yang melebar), warna bulu kebanyakan putih dan telinga ngagiri. Perkembangan selanjutnya dari pemeliharaan domba garut mengarah pada dua sasaran utama, yaitu sebagai penghasil daging dan untuk kesenangan atau hobi, selain hewan domestik pendukung pertanian masyarakat agraris umumnya.