Saujana yang secara harafiah menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti “sejauh mata memandang”, yang kemudian disepakati dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003 untuk digunakan sebagai terjemahan dari ‘cultural landscape’. Saujana merupakan purwarupa hubungan antara manusia dengan budaya dan lingkungan alamnya dalam kesatuan ruang dan waktu yang luas yang digapainya melalui budaya. Alam adalah mitra masyarakat, dan keduanya dalam kondisi dinamik yang membentuk Saujana.
Sukamulya adalah nama baru dari spirit berkemajuan sejak pemekaran Desa pada tahun 2000. Sebuah artefak, tempat hidup, museum alam dan potret transformasi kebudayaan desa dari zaman ke zaman tanpa meninggalkan akar budayanya di sektor pertanian. Ciri sabumi cara sadesa, Desa mawa cara negara mawa tata.
Bicara Mega Terasering Sukamulya adalah sebuah respon, rekognisi dalam menemu kenali lagi definisi Desa pada fungsinya sebagai sentral penyelenggaraan kebudayaan beserta ekosistemnya. Adalah bicara Saujana, kesatuan ruang dan waktu wujud ketahanan pangan yang berbasis keunikan bentang alam yang digapainya melalui kebudayaan secara turun temurun, dengan luas total satu hamparan sawah padi terasering seluas 1200 ha yang mencakup tiga wilayah Desa (2x luas total Subak Ubud yang ditetapkan UNESCO). Adalah ruang interaksi inklusif masyarakat melalui alam dan budaya, media resolusi konflik lahan, ruang inklusif warga di era pandemi yang diinisiasi secara partisipatif sejak 2017 bersama masyarakat dengan semangat berkemajuan dan gotong royong.
Dalam frasa sunda terasering adalah Sawah berkontur miring "Nyabuk Gunung" , sebuah ekspresi budaya organisasi otonom yang secara internal merupakan resolusi dari sistem tata kelola ekosistem air sekaligus aset sumber daya alam bersama dalam rupa ketahanan pangan. Sebuah tinggalan arkeologis yang merepresentasikan Sukamulyans yang berorientasi pada sumber mata air dari generasi sebelumnya hingga hari ini dan untuk masa depan. Keunikannya menjadi warisan alam yang bernilai rekreatif-atraktif-edukatif bagi siapa saja yang berkunjung, menjadikan masyarakatnya sebagai tangan pertama penerima manfaat dan berdampak pada pembangunan inklusif di skala Desa. Tapi tidak hanya sekadar mengejar aspek ekonomis lebih dari itu targetnya adalah menaikkan indeks kebahagiaan warganya. Dibuktikan dengan beberapa target pembangunan akses yang menunjang infrastruktur menuju kawasan Mega Terasering dan datangnya beberapa program seperti pemajuan Kebudayaan Desa BPNB Jabar yang berbasis pemberdayaan, juga melalui kedatangan Wakil Gubernur Jawa Barat dan Wakil Menteri ATRBPN untuk Kampung reforma agraria. Hari ini, meski bertahap daya tariknya kian populer menjadi jawaban atas kesenjangan Sukamulya dengan desa lainnya. Karena sebelumnya Sukamulya dicap Desa tertinggal dan terisolir karena kondisi aksesbilitas yang tidak memadai dan jauhnya menuju ke fasilitas kesehatan juga ke pusat Kabupaten. Perlu diketahui Sukamulya adalah salah satu Desa yang termasuk
pada kawasan Geopark Pangandaran yang sedang diusulkan statusnya sebagai Geopark Nasional oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Secara geografis Sukamulya berkontur perbukitan sedang dengan ketinggian sekitar 222 meter diatas permukaan laut dan diapit oleh dua hutan pangkuan. Selain memiliki panen rempah kapolaga yang tinggi ( tercatat pada musim panen menghasilkan 5 ton perhari) Desa ini memiliki kisah historis yang unik, sesuai dengan rupa bumi topografisnya memiliki tinggalan sejarah yang menarik untuk dikisahkan pada khalayak. Sungai, air terjun dan Gua karst alaminya mengingatkan pada peristiwa perang melawan penjajah dan peristiwa pemberontakan DI/TII. Kita bisa berjumpa dengan artefak dan tinggalan periode penjajahan tersebut dan bisa meminta langsung informasinya dari para tetua Adat Desa yang menjadi saksi peristiwa besar yang menjadi sejarah lokal di Sukamulya dan sekitarnya. Adalah Almarhum Aki Sudri salah satu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi Bapak pemekaran Desa Sukamulya memisahkan diri dari Desa Sebelumnya pada tahun 2000. Karena latar belakangnya yang merupakan pejuang kemerdekaan, Aki Sudri memiliki cita-cita untuk menjadikan Sukamulya Desa yang maju mengejar ketertinggalan dari Desa lainnya tanpa melupakan akar sejarahnya. Bertumpu pada "Uga" atau "Caturrangga" sebuah amanat lisan yang diwariskan bagi anak cucunya secara tutur dari mulut ke mulut dan turun temurun. Kepala Desa dari satu ke yang lainnya menerjemahkannya pada bahasa pembangunan sebagaimana Sukamulya diorientasikan sejak awal pemekaran.
Tak hanya berbasiskan lanskap alam yang unik, Sukamulya memiliki tinggalan aset budaya benda dan non bendawi yang masih hidup di tengah masyarakatnya. Tradisi lisan “Kidung” yang merepresentasi alam fikir warga bertransformasi pada berbagai aspek kehidupan, identitas, aktivitas, seni dan budaya agraris. Meski narasinya mengalami perkembangan, ragam versi dan modifikasi cerita-cerita rakyat yang dikisahkan ini dihasratkan tak hanya berhenti pada proses representasi Sejarah Sukamulya sendiri, melainkan mewakili lokalitas dan gambaran akulturasi yang berkelindan serta berperistiwa di Desa ini. Dan semangat berkesenian warganya masih bisa kita saksikan di beberapa pagelaran, Seni Ebeg sebagai wujud akulturasi mewakili masyarakatnya yang terbuka, juga Pencak Silat yang menorehkan prestasi di tingkat Kabupaten hingga Ronggeng Gunung dan juga kesenian yang lebih Islami. Gotong royong merupakan hal yang masih lumrah di Sukamulya. Modal sosial dalam pembangunan yang berbasis swadaya masyarakat secara egaliter yang kental dengan suasana pedesaan. Konsep "Leuit" dan "Gelebeg" tak hanya menjadi Lumbung Padi representatif tradisional hari ini lebih dari itu diterjemahkan lebih praktis pada tatanan kehidupan berdesa hari ini, seperti diterapkannya konsep Lumbung pajak di skala RT/Rukun Tetangga sebagai ketahanan ekonomi dilingkup terkecil Desa.